Jumat, 30 November 2007

Menjaga lidah

Terdapat dalil-dalil yang tegas dan jelas akan wajibnya menjaga lisan agar kita menggunakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan syari’at. Di antaranya adalah:

1. Hadits ‘Adiy bin Hatim, muttafaqun ‘alaih
Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam:

((مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلا سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ. فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلا يَرَى إِلا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلا يَرَى إِلا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلا يَرَى إِلا النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ. فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ)) (متفق عليه) وزاد مسلم: ((وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ))

“Tidak ada seorang pun di antara kalian, kecuali nanti (pada hari kiamat) akan diajak bicara oleh Allah, yang antara dia dengan Allah tidak ada seorang penerjemah pun. Lalu dia melihat ke sebelah kanannya, maka dia tidak meilihat kecuali apa yang telah dilakukannya dan dia melihat ke sebelah kirinya, maka dia tidak melihat kecuali apa yang telah dilakukannya. Kemudian dia melihat ke depan maka dia tidak melihat kecuali neraka berada di hadapannya. Maka takutlah terhadap neraka walaupun (hanya berinfaq) dengan sebelah/setengah kurma!” (HR. Al-Bukhariy no.6539 dan Muslim no.1016)
Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan: “Walaupun hanya dengan mengucapkan perkataan yang baik!”

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم النَّارَ فَأَعْرَضَ وَأَشَاحَ ثُمَّ قَالَ: ((اِتَّقُوا النَّارَ)) ثُمَّ أَعْرَضَ وَأَشَاحَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ كَأَنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا ثُمَّ قَالَ: ((اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ, فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ))

Dari ‘Adiy bin Hatim berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang neraka lalu beliau berpaling kemudian bersabda: “Takutlah kalian terhadap neraka!” lalu beliau kembali berpaling sampai-sampai kami menyangka seakan-akan beliau melihat neraka tersebut, kemudian beliau bersabda: “Takutlah kalian terhadap neraka walaupun (hanya berinfaq) dengan sebelah kurma, maka barangsiapa yang tidak mendapatkan(nya), maka (berkatalah) dengan perkataan yang baik!” (HR. Al-Bukhariy no.1417 dan Muslim no.1016)

2. Hadits Abu Hurairah, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لا يُلْقِي لَهَا بَالا يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ. وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لا يُلْقِي لَهَا بَالا يَهْوِي بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ))

“Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang diridhai oleh Allah, yang dia tidak menganggapnya penting, (maka) Allah mengangkatnya dengan perkataan tersebut beberapa derajat dan sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang dibenci Allah, yang dia tidak memikirkannya terlebih dahulu, yang dengan perkataan tersebut dia terjerumus ke dalam jahannam.” (HR. Al-Bukhariy no.6478)
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ)) (رواه مسلم) وفي لفظ له: ((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ))

“Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang dengannya dia masuk ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.”
Dan dalam lafazh yang lain: “Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang tidak jelas apa manfaat perkataan tersebut, (akan tetapi) dengannya dia terjerumus ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no.2988)

3. Hadits Abu Hurairah, riwayat Muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟)) قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ((ذِكْرُكَ أَخَاكَ ِبمَا يَكْرَهُ)) قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: ((إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ))

“Tahukah kalian, apa itu ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Yaitu, kamu menyebut sesuatu tentang saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan: “Bagaimana pendapat engkau, jika apa yang aku katakan memang kenyataannya ada pada saudaraku tersebut?” Beliau menjawab: “Jika memang apa yang kamu katakan ada padanya, berarti kamu telah meng-ghibahnya dan jika ternyata apa yang kamu katakan tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta tentang dia.” (HR. Muslim no.2589)

4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, muttafaqun ‘alaih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ))

“Seorang muslim (yang baik) adalah seseorang, yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhariy no.10 dan Muslim no.40)

Mudah-mudahan kita bisa memahami, menghafal dan mengamalkan dalil-dalil di atas dengan semata-mata mengharap ridha Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aamiin. Wallaahu A’lam.

Senyum Adalah Ibadah

Kata senyum adalah kata yang indah dan menarik hati, menyenangkan, dan menggembirakan. Bagaimana seorang muslim tidak tersenyum sementar aida telah meridhoi Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw. Adalah nabinya? Bagaimana ia tidak tersenyum sementara baginya telah ditumbuhkan taman-taman yang menyenangkan, dan kebun yang hijau, yang padanya terdapat pohon-pohon yang indah menyegarkan, dan tetumbuhan yang penuh keindahan. Bagaimana ia tidka tersenyum sementara Allah telah mengadakan baginya bintang-bintang yang terang, lautan yang luas, tanah yang berkelok-kelok, dan planet-planet yang berputar di porosnya?

Bagaimana ia tidak tersenyum, sementara burung-burung bernyanyi, merpati berdendang, matahari bersinar, bulan bercahaya indah, pagi hari yang datang dalam terang cahaya, dan hujan yang datang dibalik awan di langit? Bagaimana ia tidka tersenyum, sementara angina sepoi bertiup, daun-daun gemerisik, burung kenari bersiul, aroma indah bertiup, air jatuh di antara bebatuan mendendangkan lagu cinta, dan menceritakan pagar keindahan?

By Dr. AIDH AL - QARNI

AMANAH

Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.

Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dan Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)

Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.

Amanah dan Iman

Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

Macam-macam Amanah

Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)

Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.

Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)

Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)

Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (An-Nahl: 125)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)

Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)

Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Kamis, 29 November 2007

Renungan Indah

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipanNya,
bahwa rumahku hanya titipanNya,
bahwa hartaku hanya titipanNya,
bahwa putraku hanya titipanNya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali olehNya?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"

By .rendra ....

Rintanagan dan Tujuan Akhir

Oleh K.H.Abdulah Gymnastiar


ORANG bisa memiliki kebaikan yang tulus ternyata kuncinya adalah dia mengharap kebaikan di akhirat nanti. Orang yang selalu memikirkan ”kebaikan di akhirat” membuat kualitas kebaikan dunianya menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan orang yang berbuat kebaikan di dunia tanpa perhitungan di akhirat nanti.

Kita tahu bahwa hidup ini akan berakhir dan selama itu pula tidak pernah ada keseimbangan pemberian di dunia ini. Contohnya kurang lebih begini, ada seorang ibu yang sangat rindu ingin mempunyai anak. Berbulan-bulan ia menunggu anaknya lahir. Selama sembilan bulan kandungannya dibawa ke mana-mana. Namun sayang ketika melahirkan, sang ibu pun meninggal dunia. Di sini keadilan Allah tetap tegak. Seandainya sang ibu tulus dan ikhlas, insya Allah akan dipertemukan dengan anaknya di akhirat nanti.

Seorang anak yang ingin memuliakan orang tua, mati-matian kuliah agar bisa cepat bekerja supaya bisa menyejahterakan ibunya di desa. Namun ketika akan diwisuda, orang tuanya meninggal. Bagaimana dengan hal seperti ini? Yakinlah bahwa Allah menyediakan kampung akhirat untuk keadilan semua yang terjadi di dunia ini. Hanya Allah yang akan membalasnya. Tidak akan ada yang lolos sekecil apa pun dari balasan Allah. Maka kampung akhirat membuat kita tidak harus disibukkan dengan balasan dunia ini. Itulah yang disebut ikhlas.

Hambatan yang selalu hadir dalam kehidupan akan menjadi sangat menakutkan dan menyeramkan kalau kita tidak melihat tujuan akhirnya. Namun, jika kita memiliki pengetahuan tentang tujuan akhir yang ingin dicapai, semuanya akan terlihat lebih kecil, ringan, dan sederhana dalam pandangan kita.

Ketika kita dihina misalnya, hati tentu menjadi tidak enak kalau terbentur hanya pada kata-kata penghinaan. Tetapi kalau kita lihat tujuannya mencari berkah dan rida Allah, dan penghinaan tersebut kita kemas menjadi sesuatu yang bisa mengundang rida-Nya maka penghinaan tersebut akan terasa ringan.

Ketika uang kita dipinjam sana-sini sampai habis dan tidak kembali, bukan gerutuan yang harus kita keluarkan dari mulut ini. Kita hendaknya sadar bahwa tujuan kita bukan terletak pada kembalinya uang, tetapi pada keridaan Allah, maka kita akan menerimanya dan hati ini menjadi bersyukur, ”Alhamdulillah, ya Allah, Engkau telah menitipkan harta kepadaku, sehingga saya tidak meminjam ke sana kemari. Jadikanlah ini kebaikan di dunia dan akhirat bagiku, ya Allah. Kalau saya salah tidak bisa mengingatkan dia, bantu agar saya dapat mengingatkannya dengan arif. Namun jika dia tidak sanggup membayar, bukakanlah hati saya supaya rela karena uang itu juga milik-Mu, ya Allah.” Dengan berkata seperti ini, maka tenang dan lapanglah hati kita.

Seorang ibu yang sudah melahirkan, menyusui, membasuh popok, mengurus anaknya hingga dewasa, akan pusing ketika pikirannya hanya terpusat pada anaknya. Entah itu anak balas budi, anak berbakti, anak tersenyum atau ketika anaknya rewel, si ibu tadi akan terus merasa susah. Coba jika Allah yang menjadi orientasi, ketika anak melawan maka sirami dengan doa. Ketika anak bandel, sirami dengan doa. Terus-menerus sang ibu itu berdoa, berdoa, dan berdoa karena tidak akan ada amalan sekecil apa pun yang luput dari pandangan Allah. Subhanallah!

Tidak memiliki uang bisa mengangkat derajat kita di mata Allah, jikalau dalam berusaha tidak menggadaikan harga diri kita. Dengan bekerja keras, tidak meminta-minta meski jatah untuk kita sedikit dan ketika sudah berhasil, kita jaga dari sifat tamak dan antimemakan hak orang lain, maka kita akan tetap mulia dalam pandangan Allah. Karena apa susahnya bagi Allah untuk memuliakan orang-orang seperti ini.

Berbuat baiklah selalu, karena itulah rezeki kita. Awalnya baik, prosesnya (tengah) baik, dan akhirnya pun baik. Baik untuk kita, baik untuk orang lain, baik di dunia dan baik di akhirat.

Hasanah juga dapat diartikan sebagai kebaikan yang lahir maupun batinnya disukai Allah. Tentunya, bukan baik menurut versi nafsu, melainkan sesuai dengan nilai yang ditetapkan Allah SWT. Mudah-mudahan dengan doa, Fiil aakhiraati hasanah, menambah keyakinan kita bahwa hidup yang silih berganti bagai siang dan malam, sehat-sakit, suka-derita, susah-senang dan bermacam-macam konsekuensi lainnya tidak akan menjadi masalah bagi kita. Karena yang penting bagi kita adalah bagaimana membuat setiap episode kehidupan ini menjadi kebaikan.

Ketika senang kita bersyukur, ketika susah lalu menjadikannya kebaikan dengan kesabaran dan mengoptimalkan ikhtiar. Ketika dipuji akan menambah rasa malu kita pada Allah yang telah sempurna merahasiakan aib diri ini, dan ketika dihina, merasa lapang dada karena terkadang penghinaan yang kita terima lebih sederhana daripada kejelekan diri kita sebenarnya.

Sehat bisa menjadi kebaikan yang memacu kita untuk berbuat lebih banyak, sakit bisa menjadi jalan evaluasi penggugur dosa bahkan kita pun dapat meraup hikmah dari sakit dan mengajari orang bagaimana cara menghadapi sakit.

Bagi yang mempunyai musuh, jangan terlalu memikirkannya karena itu akan membuang waktu, tenaga, dan energi. Cukup doakan saja semoga ia tidak membuat kejelekan lebih jauh lagi, karena dendam kesumat yang melampaui batas kewajaran dan tidak sesuai dengan syariat, hanya akan merusak diri kita sendiri. Kita tidak akan rugi karena doa yang tecermin dari perilaku kita sehari-hari adalah doa kebaikan.

Doa itu bukan seperti menggantungkan pakaian. Doa adalah target dan sasaran yang harus kita capai. Doa adalah nilai (value) yang harus kita tepati. Kita harus meminta kebaikan di dunia dan akhirat. Caranya adalah berikhtiar dari waktu ke waktu dengan kebaikan, karena setiap perbuatan akan kembali pada diri kita sendiri.

Pada akhirnya kita akan merdeka dan hanya ada satu cita-cita bagi seorang Muslim, detik demi detik yang kita jalani adalah kebaikan. Kita tidak tahu kapan akan meninggal. Daripada mengingat yang lainnya, akan lebih bermanfaat jika kita mengingat mati, karena dengan mengingat kematian akan memperbaiki niat dan cara kita.

Semoga kita ditolong untuk semakin bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Persembahkanlah yang terbaik dan jangan pernah berhenti berusaha, karena ”Siapa yang berjihad, sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri. Allah Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu apa pun dari seluruh alam (QS al-Ankabuut:6).

Semoga Allah menampakkan kekurangan yang kita miliki agar kita bisa memperbaikinya. Semoga Allah memperlihatkan kelemahan-kelemahan kita agar kita bisa menjadikan diri ini lebih kuat dan tangguh menghadapi cobaan hidup dan sanggup mencapai tujuan akhir, Fiid dunya hasanah wa fiil aakhirati hasanah. Amin. Wallahualam.

Sifat Nabi dan Rasul-Amanah

Masuk Kategori: Ensiklopedia Islam

Setelah Shiddiq, sifat Nabi dan Rasul berikutnya, yg PASTI dimiliki, adalah AMANAH. Amanah berarti DAPAT DIPERCAYA. Rasululloh SAW sendiri sebelum menjadi Rasul, beliau sudah digelari Al Amin (Yang Dapat Dipercaya). Dengan demikian, tidak mungkin seorang Nabi dan Rasul bersifat/bersikap KHIANAT (curang).

Amanah diterapkan para Nabi dan Rasul dalam bentuk SELALU menyampaikan SEMUA ajaran yg diterimanya. TIDAK ADA satupun yg disembunyikan. Dengan demikian, MUSTAHIL mereka menyelewengkan atau berbuat curang atas ajaran ALLOH SWT.

Apabila saat ini banyak orang (tidak cuma orang kafir, bahkan kaum muslim sekalipun) yg memperdebatkan ajaran yg dibawa Rasululloh SAW, yg menyatakan bahwa Rasululloh SAW menyembunyikan atau berbuat curang dalam menyampaikan ajaran-Nya. Naudzubillah….jangan sampai kita termasuk orang2 yg berpikiran demikian (menganggap Rasululloh SAW berbuat curang).

Dengan demikian, Rasululloh SAW bukan termasuk orang yg sulit dipercaya.

artikel terkait:
- Shiddiq
- Tabligh
- Fathonah